WELCOME!


I made this widget at MyFlashFetish.com.


Jumat, 05 Februari 2010

Tentang Prioritas



Assalamu’alaikum,

teh bagaimana caranya agar saya dapat seimbang antara dakwah dan kuliah. Militan dalam dakwah tapi mampu juga menjadi seorang yang berprestasi dalam akademis? Mohon masukan teteh. Hatur Nuhun.
Fn.

Jawaban.
Wa’alaikumsalam wr wb,


Fn yang sholehah,
Adalah menjadi impian setiap siswa/i atau mahasiswa/i yang telah mengkaji Islam dan memahami wajibnya dakwah dalam kehidupan, ingin selalu turut dalam dakwah secara militan, juga mampu berprestasi dalam hal akademis. Perlu dipahami bahwa keseimbangan akan tercapai manakala kita memahami hukum syara’ atas amal keduanya. Bukan hal yang tidak mungkin, dia bisa berprestasi dalam dakwah dan akademis. Karena Islam memberikan teladan kepada kita bahwa generasi terbaik yang dicetaknya mampu memberikan kegemilangan atas peradaban di dunia. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Imran [3]: 110, bahwa generasi Islam sesungguhnya umat terbaik yang Allah ciptakan di muka bumi. Sebut saja, Ibn Rusyid, Al-Khawarizmi, Ibn Sinna, Al-Jabar, dan lain-lain, mereka adalah contoh generasi terbaik yang terlahir dari keluhuran pemikiran Islam. Mereka bukan saja ahli dalam hal ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi mereka juga matang dalam tsaqofah Islam, yang menjadikan mereka sosok-sosok prestatif dalam dakwah dan IPTEK.

Fn yang sholehah,
Prestatif dalam hal dakwah dan akademik bukanlah sebuah impian mengawang-ngawang seorang pengemban dakwah. Keduanya dapat dicapai, karena sama-sama terlahir dari tuntutan aqidah yang satu, yakni aqidah Islam. Bukankah dengan jawaban yang benar atas pertanyaan mendasar kita dalam kehidupan (uqdatul kubra), akan menjadikan kita sosok-sosok yang mampu menyelesaikan persoalan kehidupannya? dalam hal ini persoalan umat yang harus tercerahkan atas dakwah yang kita lakukan, juga persoalan individu kita dalam hal akademis. Sehingga kita mampu membuktikan dan meyakini dengan benar, bahwa Islam bukan hanya sekedar teori atau wacana, tetapi sebuah sistem yang bisa diterapkan secara praktis dalam kehidupan kita sehari-hari.

Biasanya mitos yang berkembang saat ini seringkali memberikan sanggahan keseimbangan keduanya. Karena alasan ingin fokus dan amanah dalam dakwah, akademisnya ditinggalkan atau tidak diperhatikan. Merasa bahwa dengan fokus dalam dakwah (dan meninggalkan amanahnya dalam akademis), merasa tak ada kewajiban yang terlalaikannya. Atau sebaliknya, pada kasus umum, karena jadwal akademis yang begitu padat dan karena kemampuan yang lemah dalam beradaptasi untuk mengatur keseimbangan antara dakwah dan akademis, menjadikannya tergerus dalam realitas umum akademis, menjadi seorang yang hanya fokus pada nilai-nilai dan orientasi akademis duniawi. Keduanya tentu tidak dibenarkan oleh syara’. Karena syariat Islam mengatur dengan shahih hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, urusan pribadi masing-masing individu, serta berbagai hubungan yang terjalin dalam masyarakat (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, pemerintahan, serta hubungan internasional).

Berdakwah merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang (‘ain), sedangkan kuliah untuk menjadi seorang insinyur atau dokter misalnya merupakan kewajiban yang dibebankan secara jamaah (kifayah). Meskipun berbeda pembebanannya, namun keduanya tetaplah berhukum wajib yang sama-sama harus dijalankan. Tidak ada yang boleh ditinggalkan. Karena pelalaian terhadap salah satunya akan membawa pada kedosaan. Tinggal berikutnya, kita bermain dalam skala prioritas. Dan perlu diingat bahwa perbandingan skala prioritas patut dilakukan jika aktivitas yang berbenturan adalah sama-sama wajib. Wajib dengan sunah, apalagi wajib dibandingkan dengan hal mubah, tentu tak perlu kita buat prioritas, karena kewajiban harus jadi yang terdepan. Jika kita dihadapkan pada aktivitas wajib sama wajib, berikutnya kita pastikan mana yang penting dan genting, penting, atau biasa (bisa sama-sama dijalankan).

Selanjutnya, kita perlu mendefiniskan secara jelas makna prestatif. Apakah label prestatif hanya berhak diberikan pada mereka yang memiliki IPK 4,00 atau pada mereka yang disebut sebagai mahasiswa berprestasi (mapres)?. Pandangan manusia secara umum, mungkin benar hanya dipandang dari nilai dikertas dan penghargaan institusi yang diberikan kepadanya. Tapi apakah pandangan tersebut akan sama dihadapan Allah? Mungkin bisa, namun bagaimana kita menjaminnya? Apakah kita mampu tampil sebagai sosok yang prestatif di hadapan manusia dan di hadapan Allah (dalam hal akademis dan dakwah), sebagaimana genarasi Islam terdahulu mampu membuktikan kecemerlangannya dalam membangun peradaban?

Fn yang sholehah,
Sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dengan potensi ’kemanusiaannya’ yang sempurna, yakni akal. Dengan adanya akal, manusia bisa menjadi mahluk Allah yang mulia (prestatif di hadapan-Nya). Namun, dengan akalnya pula manusia dapat lebih rendah dari pada binatang ternak (hina dihadapan Allah). Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (TQS. Al-A’raf [7]: 179)

”Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (TQS. Muhammad [47]: 7)

Fn yang sholehah,
Dari ayat-ayat tersebut, dengan jelas Allah menyebutkan bahwa hina dan prestatif-nya manusia dihadapan Allah adalah dengan mau atau tidaknya dia berpikir (memanfaatkan potensi akalnya). Yakni dengan indikator taat atau tidak-nya manusia tersebut pada aturan main yang telah Allah tetapkan dalam syariatNya (Hukum Syara’).

Artinya, keterikatan pada hukum syara’-lah akan menghantarkan kita pada label prestatif dihadapan Allah. Berikutnya, kita harus yakin bahwa janji Allah adalah benar. Ketika kita mau terikat dengan aturan Allah pada semua aktivitas yang kita lakukan (termasuk didalamnya akademik), dan kita mau berdakwah untuk kemuliaan Dien-Nya, maka yakinlah bahwa Allah akan memberikan kemulian atas diri kita, bukan hanya di akhirat tetapi juga di dunia, sebagaimana QS. Muhammad [47]: 7.
Kuncinya antara lain:
1. Menjadikan keyakinan kita kepada Allah sebagai landasan amal kehidupan (tawakal).
2. Memahami hukum setiap amal (aktivitas) yang kita lakukan.
3. Bersungguh-sungguh dalam menjalankan setiap amal, dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki.

Dengan hal tersebut, berikutnya dia diharapkan mampu menjadi sosok yang tidak abai atas setiap kewajiban yang telah Allah tetapkan (atas dirinya). Sosok yang seimbang dan bersungguh-sungguh dalam amal, baik dakwah maupun akademis. Yang karenanya, insyaAllah dia akan mampu menjadi sosok yang prestatif tidak hanya dihadapan manusia tetapi juga dihadapan Allah SWT. Semoga Allah senantiasa menjaga langkah Fn dalam kebenaran. Wallahu’alam.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA
Dengan atau tanpa kita, Dakwah Islam akan tetap berjalan, namun apakah Neraka-Nya tidak terlalu menakutkan serta Surga-Nya tidak begitu menggiurkan untuk kita semua?