WELCOME!


I made this widget at MyFlashFetish.com.


Kamis, 18 Februari 2010

Orang Tua Melarang Mengkaji Islam


Assalamu’alaikum, teh Cicin... setelah saya mengkaji Islam, saat ini alhamdulillah hidup saya benar-benar terasa tentram. Oleh karenanya saya sangat berharap orangtua juga mampu merasakan apa yang saya rasakan. Kalo saya pulang ke rumah, saya berusaha menyampaikan pemahaman Islam kepada orangtua saya. Hanya saja, perubahan saya setelah mengkaji Islam (khususnya setelah saya memberikan pandangan atau melakukan koreksi pada berbagai adat dan tradisi di keluarga yang tidak sesuai dengan Islam), orangtua saya malah melarang saya untuk mengkaji Islam lebih jauh, karena menganggap apa yang saya pelajari itu terlalu fanatik. Saya bingung teh... Padahal saya sudah berupaya menjelaskan apa yang telah saya pahami, dan saya yakin itu benar. Tapi orangtua saya malah bersikap sebaliknya. Apa yang sebaiknya harus saya lakukan untuk mengubah sikap orangtua saya yang keras tersebut teh...? Mohon masukan teteh, syukran.
X, Bogor.

Wa’alaikumsalam Wr Wb,

Adik X yang sholihah,
Sebelumnya teteh ingin mengucapkan selamat atas nikmat iman yang adik rasakan saat ini. Semoga Allah senantiasa menjaganya, dan menjadikan adik salah satu mutiara yang cahayanya terus memancar di tengah-tengah umat. Amiin...

Adik X yang sholihah,
Sebagai sebuah view of life, Islam memang satu-satunya tuntunan dan pedoman kehidupan yang sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia, karena mampu menentramkan hati dan memuaskan akal. Keberadaannya pada diri kita, akan memberikan kebangkitan pemikiran yang takkan mampu tertahan dalam benak. Sehingga wajar jika adik ingin membaginya pada sekitar, termasuk pada keluarga atau orangtua adik. Hanya saja, ketika ingin menyampaikan apa yang kita rasakan pada sekitar seringkali kita kurang bersabar. Dan ini menjadi salah satu masalah yang biasanya menjadikan seorang pengemban dakwah futur, jika kurang bijak dalam memahami masalahnya dan menjalani prosesnya.

Adik X yang sholihah,
Untuk menyelesaikan kegelisaan atau persoalan adik ini, ada beberapa hal yang teteh ingin kembali ingatkan (sekaligus ini juga refleksi terhadap kehidupan teteh secara pribadi) - khususnya dalam proses pengembanan dakwah kepada kerabat, dalam hal ini orang tua kita.

Pertama, tentu adik paham, bahwa Kehidupan umat Islam saat ini, lebih dari setengah abad (sekitar 86 tahun setelah runtuhnya kekhilafahan) telah diatur oleh system yang menjauhkan mereka dari penyembahan kepada Allah. Tuntunan Islam mereka kenal hanya pada seputar ibadah ritual. Sementara budaya dan tatanan kehidupan sosialnya terpenjara dalam tatanan norma, adat, nilai, hukum, definisi-definisi, dan standar hidup buatan manusia. Mungkin termasuk orang tua kita di dalamnya, dan kita pun dahulu sebelum mengkaji pasti merasakannya. Sehingga wajar jika diawal ketika kita menyampaikan Islam, menyeru mereka kepada Syariat Islam, dan atau memberi tampak kepada mereka tentang kebiasaan-kebiasaan atau adat masyarakat yang bertentangan dengan Islam; mereka merasa kaget, khawatir, dan atau marah kepada kita. Karena mungkin sebelumnya mereka tidak pernah tau tentang pandangan Islam tersebut.

Dengan kembali memahami hal ini, maka kita diharapkan dapat segera membuang jauh-jauh tentang pikiran bahwa orang tua kita terlalu keras atau tidak mau mengerti dengan pola kehidupan kita pasca mengkaji. Dengannya pula kita dapat lebih bijaksana menyikapi setiap pergolakan yang terjadi. Karena pasti pergolakan itupun sebenarnya pernah kita rasakan sesaat setelah dakwah islam sampai kepada kita. Mari kita mengingat kembali diri kita, mula sebelum mengkaji hingga cahaya Islam itu benar-benar menerangi kehidupan kita. Pasti ada jeda di dalamnya. Jeda yang terdefinisi sebagai pergolakan antara keyakinan pada kehidupan jahiliyah yang kita jalani dalam sistem kufur buatan manusia dengan keyakinan akan fitrah kita sebagai manusia yang tak mampu menafikan ketergantungannya pada Sang Kuasa, Allah SWT.

Kedua, tentang bagaimana kita berkomunikasi. Tentu akan sangat berbeda ketika kita berdakwah kepada orang tua dengan kepada orang lain (teman, penguasa, intelektual, atau masyarakat grassroot secara umum). Teteh dalam hal ini ingin menyampaikan pandangan terkait karakter komunikasi anak dalam keluarga. Tentang cara bagaimana kita berkomunikasi kepada orangtua tentu yang lebih paham adalah kita sendiri sebagai anaknya. Secara umum, setiap anak (baik laki-laki maupun perempuan) pasti dekat dengan kedua orangtuanya atau salah satu diantaranya. Ada yang terbiasa manja dan ada pula yang sudah bisa mandiri. Pada prinsipnya, jangan sampai gara-gara mengkaji Islam kedekatan kita terhadap orangtua justru semakin renggang. Sampai-sampai kita menyamakan mereka seperti para intelektual di kampus atau teman secara umum, dan lupa cara bagaimana kita biasa berkomunikasi dengan mereka.

Tentu orangtua akan sedih atau khawatir ketika sang anak dulu (misalnya) biasa ceria dan manja, namun setelah mengkaji Islam malah menjadi sibuk sendiri dan acuh pada keluarganya. Biasa santun dalam berkomunikasi, menjadi tidak mampu mengendalikan diri (dianggap terlalu memaksa pada apa yang diyakini). Jelas hal ini tidak dibenarkan dan tidak pula diajarkan oleh Islam. Mari kita bersama mengingat QS. An-Nahl [16]: 125

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Ketiga, memberikan teladan kepada kerabat atau orangtua kita. Setelah mengkaji Islam, kita harus memiliki integritas sebagai seorang pengemban dakwah dengan memberikan teladan sosok muslim yang sebenarnya kepada mereka. Dalam hal ini, menjadi teladan dalam tindakan-tindakannya dengan landasan aqidah Islam. Mengaitkan setiap hal yang dilakukan dengan Islam, menjadikan syara’ sebagai landasannya bergerak dan beraktivitas. Termasuk meskipun menyalahi adat atau tradisi yang berlaku. Asal kita kokoh, komitmen (pada syara’), orangtua pasti terbiasa pada pola aktivitas atau prilaku yang kita kerjakan. Dan ini akan menjadi bukti kesungguhan kita di mata orangtua. Kita membuktikan apa yang kita yakini, secara terus menerus. Jangan sampai kita menyampaikan kebenaran kemarin, esok harinya kita malah berdusta. Yakinlah, tidak ada orangtua yang tidak menginginkan anaknya menjadi sholih atau sholihah. Dan untuk menjadi sholih atau sholihah itu diperlukan adanya sebuah integritas (pembuktian) dalam keteladanan pola pikir dan sikap.

Keempat, melibatkan diri dalam semua persoalan yang dialami oleh keluarga kita. Setelah mengkaji Islam, kita yang dulu tentu berbeda dengan kita yang sekarang. Perubahannya harus kita buktikan pasti menuju lebih baik. Misalnya, menjadikan kita lebih bijak atau dewasa dalam bersikap dan menyelesaikan persoalan pribadi, serta lebih peka pada sekitarnya- dalam hal ini keluarga misalnya. Kepekaan itu meliputi sensitivitasnya pada persoalan atau masalah yang dihadapi oleh keluarga. Jika kita yang dulu hanya bisa memberikan masalah, maka setelah kita mengkaji Islam dan merasakan kesempurnaannya, kita harus menjadi orang yang mampu menelaah dan menyelesaikan masalah.

Apakah ini mudah? tentu tidak semudah yang kita bayangkan, hanya saja kita bisa mulai belajar. Misalnya mulai melibatkan diri atau proaktif dalam memberikan pendapat atas masalah yang dihadapi orangtua kita. Awalnya mungkin bisa jadi tidak dianggap atau dipedulikan. Hanya saja, jika kita terus menerus melibatkan diri atau proaktif, lama-lama orangtua kita pun pasti akan memberikan kepercayaannya, insyaAllah. Terutama setelah kita memberikan bukti bahwa kita mampu menyelesaikan setiap masalah pribadi yang kita hadapi.

Terakhir, tidak lupa untuk senantiasa berdoa kepada Allah, semoga Allah membukakan hati dan pikiran orangtua kita dalam kebenaran. Minimal memberikan dukungan atau support-nya kepada kita dalam perjuangan dakwah ini. Kita harus yakin, bahwa doa anak yang sholih atau sholihah, insyaAllah pasti akan dikabulkan.

Orangtua kita adalah bagian dari ummat yang karenanya kita berkewajiban untuk menyeru mereka kembali kepada Islam, dengan metode mau’idhah hasanah, yakni memberi peringatan yang baik (sebagaimana QS. An-Nahl [16]: 125). Sejauh yang teteh rasakan memang ini tidak mudah, tapi dengan keyakinan kita pada Allah dan karena landasan kecintaan kita yang tulus kepada orangtua kita hanya karena Allah, teteh yakin hal ini akan menjadikan kita lebih bersabar, tidak terasa berat dan insyaAllah pasti akan dimudahkan oleh Allah.

Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan kepada adik dalam menghadapi persoalan ini. Semoga Allah melembutkan hati orangtua adik, hingga mereka pun yakin dan menjadi bagian dari hambaNya yang bersegera dalam menjalankan syariat Islam. Amiin Allahuma Amiin... Salam ukhuwah, salam perjuangan. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA
Dengan atau tanpa kita, Dakwah Islam akan tetap berjalan, namun apakah Neraka-Nya tidak terlalu menakutkan serta Surga-Nya tidak begitu menggiurkan untuk kita semua?