WELCOME!


I made this widget at MyFlashFetish.com.


Kamis, 18 Februari 2010

Jalan Mulia Itu Bernama Dakwah


Oleh: Kholid Mawardi

ImageRasulullah Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan risalah Islam sebagai din yang akan membawa kebaikan dunia dan akhirat. Keistiqamahan dan pengorbanan dalam perjuangan penyebaran Islam yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya membuahkan hasil yang gemilang. Terbukti, tatanan kehidupan jahiliyah yang sebelumnya menjadi tatanan sosial masyarakat Arab pada saat itu berubah menjadi tatanan kehidupan yang penuh dengan keteraturan, keagungan dan kemuliaan di bawah naungan Daulah Islamiyah yang menerapkan Islam secara kaffah.

Apa sebenarnya upaya yang tidak henti-hentinya dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam proses menuju perubahan yang fundamental tersebut? Jawabannya adalah dakwah. Ya. Aktivitas dakwah inilah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Aktivitas dakwah jugalah yang nantinya akan mampu membawa kebangkitan Islam setelah runtuhnya Khilafah Islam (institusi Negara pengemban dakwah Islam) pada tanggal 28 Rajab 1342 H yang bertepatan dengan 3 Maret 1924.

Definisi Dakwah

Dakwah, secara etimologis adalah undangan atau seruan, sedangkan secara syar’i, adalah seruan kepada orang lain agar melakukan kemakrufan dan mencegah dari kemungkaran, atau juga bisa didefinisikan dengan usaha untuk mengubah keadaan yang rusak, dan tidak Islami, menjadi baik sesuai dengan Islam.

Kedua pengertian di atas diambil dari nas hadits, sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi SAW.:

«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ»

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya dan jika dia tidak mampu, hendaknya mengubahnya dengan lisannya, dan jika dia tidak mampu, hendaknya mengubahnya dengan hatinya. Sesungguhnya hal itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (H.r. Ahmad, Muslim, Abû Dâwûd, at-Tirmidzi, an-Nasâ’i, Ibn Mâjah dari Abî Sa’îd al-Khudri).

Juga berdasarkan sabda Nabi SAW. yang lain:

«وَالَّـذِيْ نَفْسِيْ بِيَـدِهِ لَتَـأْمُرَنَّ بِالْمَعْـرُوْفِ وَلَتَنْـهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ عَلَيْكُمْ عِقاَباً مِنْ عِنْدِهِ فَتَـدْعُـوْنَهُ فَـلاَ يُسْـتَجَابَ لَكُـمْ»

“Demi Zat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, kalian harus menyerukan kepada kemakrufan dan mencegah dari kemungkaran, ataukah Allah SWT. akan menurunkan siksa dari sisi-Nya kepada kalian, sehingga ketika kalian berdo’a, Dia tidak akan mengabulkan do’a kalian.” (H.r. at-Tirmidzi dari Hudzayfah al-Yamân).

Jadi, dengan definisi “usaha mengubah keadaan” tersebut menjelaskan, bahwa dakwah bukan sekedar seruan kepada orang lain agar melakukan kebaikan melainkan harus disertai dengan usaha untuk melakukan perubahan. Karena itu, dakwah tidak cukup hanya dengan meyerukan kebaikan kepada orang lain, tetapi harus ada usaha mengubah. Sedangkan perubahan tersebut ada yang bersifat ishlâhiyyah (reformatif) dan inqilâbiyyah (revolusioner). Perubahan inqilâbiyyah adalah perubahan yang dimulai dari asas, yaitu perubahan akidah, sedangkan perubahan ishlâhiyyah adalah perubahan yang dimulai dari kulit, tidak sampai menyentuh asasnya.

Rasulullah SAW dalam proses dakwahnya melakukan perubahan yang bersifat inqilâbiyyah. Perubahan inilah yang mampu mencerabut pemahaman dasar masyarakat jahiliyah menuju masyarakat Islami. Hal serupa juga yang harus senantiasa dilakukan dalam aktivitas dakwah dewasa ini. Bukan perubahan ishlâhiyyah/parsial yang justru akan menghambat kebangkitan Islam yang hakiki.

Pujian Terhadap Para Pengemban Dakwah

Jika kemuliaan para nabi dan para rasul dicirikan oleh risalah yang diembannya, lalu bagaimana kedudukan umat mereka yang meneruskan aktivitas mereka yang mulia itu, yakni mengemban dakwah? Allah SWT berfirman:

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Qs. Fushshilat [41]: 33).

Di samping itu, banyak dorongan sekaligus pujian dari Allah dan Rasul-Nya yang ditujukan kepada para pengemban dakwah dan penyampai hidayah Allah. Rasulullah SAW, misalnya, bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah:

“Siapa saja yang menyeru manusia pada hidayah, maka ia mendapatkan pahala sebesar yang diperoleh oleh orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka.” [HR. Muslim].

Sabda Rasul di atas sangat dipahami benar oleh para sahabat beliau. Karena itu, wajar jika mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal lelah dalam menyampaikan risalah Islam; meskipun mereka harus mengorbankan sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, harta-benda, keluarga, bahkan nyawa sekalipun. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menjadikan dakwah sebagai poros hidup mereka, bahkan yang menentukan ‘hidup-mati’ mereka.

Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para pengemban dakwah saat ini, apalagi mereka yang mencita-citakan tegaknya kembali Khilafah Islam. Dalam hal ini, kita patut bertanya, mungkinkah umat ini mampu membangun kembali Khilafah Islam, sementara dakwah yang dilakukan para pengemban dakwah kepada mereka sangat minimal dan ‘ala kadar’-nya? Mungkinkah umat terdorong untuk bersama-sama menegakkan kembali Khilafah Islam, sementara dorongan yang dilakukan para pengemban dakwah terhadap mereka sangat lemah?

Dakwah adalah Perjuangan

Sejak Baginda Nabi SAW memulai dakwah secara terang-terangan di Makkah, orang-orang kafir mulai memutar otak untuk mencari cara—dari mulai yang paling halus hingga yang paling kasar dan kejam—untuk menggagalkan dakwah Nabi SAW. Mula-mula mereka melontarkan isu bahwa Muhammad SAW adalah orang gila. Lalu beliau juga dituduh sebagai penyihir yang bisa memecah-belah bangsa Arab. Tujuannya, agar orang-orang Arab tidak mendekati, apalagi mendengarkan kata-kata Muhammad. Itulah ujian yang pertama dan paling ringan yang dialami Baginda Rasulullah SAW.

Tatkala Quraisy melihat bahwa Muhammad tidak berpaling sedikitpun dari jalan dakwah, mereka lalu berpikir keras untuk membenamkan dakwah Muhammad SAW dengan berbagai cara yang lebih keras. Secara ringkas ada empat cara yang mereka lakukan: mengolok-olok, mendustakan dan melecehkan Rasul; membangkitkan keragu-raguan terhadap ajaran Rasul dan melancarkan propaganda dusta; menentang al-Quran dan mendorong manusia untuk menyibukkan diri menentang al-Quran; menyodorkan beberapa bentuk penawaran agar Rasul mau berkompromi, yang tujuan akhirnya adalah menyimpangkan bahkan menghentikan dakwah beliau (Syaikh Shafiy ar-Rahman al-Mubarakfuri, ar-Rahîq al-Makhtûm).

Akan tetapi, semua cara ini pun gagal. Namun, kaum Kafir tidak mengendorkan kesungguhan untuk memerangi Islam serta menyiksa Rasul-Nya dan orang-orang yang masuk Islam. Fitnah dan ujian juga dilakukan terhadap Baginda Nabi SAW oleh Abu Lahab dan istrinya, Abu Jahal dan istrinya, Uqbah bin Abi Mu’ith, Adi bin Hamra‘ ats-Tsaqafi dan Ibn al-Ahda‘ al-Huzali. Salah seorang dari mereka pernah melempar Nabi SAW dengan isi perut domba yang baru disembelih saat beliau sedang shalat. Uqbah bin Abi Mu’ith bahkan pernah meludahi wajah Nabi SAW. Utaibah bin Abi Lahab pernah menyerang Nabi SAW. Uqbah bin Abi Mu’ith pernah menginjak pundak beliau yang mulia. Semua itu dialami Baginda Rasulullah SAW, betapapun mulianya kedudukan dan kepribadian beliau di tengah-tengah masyarakat.

Karena itu, wajar jika para Sahabat beliau, apalagi orang-orang lemah di antara mereka, juga mendapat banyak gangguan atau siksaan, yang tak kalah kejam dan mengerikan. Paman Utsman bin Affan, misalnya, pernah diselubungi tikar dari daun kurma dan diasapi dari bawahnya. Ketika Ibu Mushab bin Umair mengetahui bahwa anaknya masuk Islam, ia tidak memberi makan anaknya dan mengusirnya dari rumah—padahal ia sebelumnya termasuk orang yang paling enak hidupnya—sampai kulit Mushab mengelupas. Bilal bin Rabbah juga pernah disiksa secara kejam oleh Umayah bin Khalaf al-Jamhi. Lehernya diikat, lalu ia diserahkan kepada anak-anak untuk dibawa berkeliling mengelilingi sebuah bukit di Makkah. Bilal juga dipaksa untuk terlentang di bawah terik matahari dalam kelaparan, kemudian sebuah batu besar di diletakkan dadanya.

Hal yang sama menimpa keluarga Yasir ra, bahkan lebih tragis. Abu Jahal menyeret mereka ke tengah padang pasir yang panas membara dan menyiksa mereka dengan kejam. Yasir ra. meninggal dunia ketika disiksa. Istrinya, Sumayyah (ibu ’Ammar), juga menjadi syahidah setelah Abu Jahal menancapkan tombak di duburnya. Siksaan terhadap Ammar bin Yasir juga semakin keras. (Ibn Hisyam, Sîrah Ibn Hisyam, 1/319).

Meski mengalami semua makar dan kekejaman yang dilakukan orang-orang Kafir, Rasulullah SAW dan para Sahabat beliau tetap berpegang teguh pada Islam, tetap bersabar dan tetap istiqamah di jalan dakwah hanya karena satu alasan: mengharap ridha Allah SWT.

Fragmen serupapun sekarang terjadi di beberapa belahan bumi ini. Di Uzbekhistan misalnya, banyak aktivis dakwah Islam yang dipenjara, disiksa, diperkosa, bahkan dibunuh oleh rezim Karimov hanya karena melakukan dakwah Islam. Itulah gambaran sebuah bentuk pengorbanan yang dilakukan oleh Rasul SAW, para sahabatnya dan para pengemban dakwah. Bukan hanya harta, tenaga, pikiran bahkan nyawa sekalipun mereka ikhlaskan dalam upaya perjuangan penegakan dinul Islam.

Berkorban Untuk Dakwah

Sesungguhnya saat ini, banyak di antara mereka yang mengklaim sebagai pengemban dakwah, bahkan menjadi anggota jamaah dakwah, hanya memposisikan diri layaknya kaum Muslim kebanyakan; sebatas hanya sebagai pendengar semata. Mereka semata-mata rajin menghadiri kajian, seminar, atau banyak membaca buletin; tetapi tidak ada aktivitas dakwah yang dilakukan, kecuali sedikit sekali. Mereka merasa cukup dengan itu. Mereka sangat minimalis. Padahal mereka menyadari dengan baik sabda Rasul berikut:

"Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja". [HR. Muslim, at-Tirmidzi, dan Ahmad].

Sebagaimana Allah tidak menerima makanan jelek yang kita sedekahkan, Allah juga pasti tidak akan menerima amalan kita yang jelek yang kita berikan bagi Islam. Bukankah aktivitas dakwah yang minimalis adalah bagian dari sesuatu yang jelek? Sebab, sesungguhnya Islam menghendaki dari diri kita pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran yang optimal serta harta yang banyak. Islam menghendaki segala sesuatunya yang terbaik dari diri kita. Tidakkah kita melihat bagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq yang menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah dan jalan dakwah Islam? Ketika beliau melakukan itu, beliau ditanya Rasulullah Saw, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?” Beliau hanya menjawab, “Aku meninggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.”

Demikianlah, sesungguhnya Islam menghendaki dari setiap Muslim waktunya, hartanya, tenaganya, semangatnya, rumahnya, mobilnya, bahkan hidupnya. Sesungguhnya Islam menghendaki setiap Muslim ‘menjual’ dirinya kepada Allah dan memberikan setiap hari sesuatu yang baru bagi Islam. Tidakkah kita melihat bagaimana kesungguhan Mus‘ab bin Umair dalam berdakwah? Mush’ab setiap hari dalam hidupnya senantiasa memberikan konstribusi baru bagi Islam di dalam dakwah dan jihad yang dilakukannya. Beliau adalah dai pertama dalam Islam di kota Madinah. Di tangannyalah sebagian besar penduduk Madinah berhasil diislamkan. Dia adalah peletak pertama fondasi Negara Islam Madinah. Dia adalah kontributor sesungguhnya bagi Islam dan jamaah kaum Muslim.

Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita telah berusaha keras untuk memahami Islam, mengamalkan, sekaligus mendakwahkannya? Berapa banyak harta yang kita infakkan untuk kepentingan dakwah Islam? Berapa malam setiap minggunya kita memikirkan aktivitas demi kebangkitan Islam secara umum, atau kemajuan Islam? Berapa kali kita melakukan amar makruf nahi mungkar setiap harinya? Dan apa yang dihasilkan dari diri kita dan apa pula yang disumbangkan bagi dakwah Islam? Demikian seterusnya.

Pertanyaan-pertanyaan itu penting kita tanyakan kepada diri kita untuk mengukur sejauh mana kita telah mengorbankan diri kita untuk Allah, seberapa pantas kita mendapatkan predikat pengemban dakwah dan seberapa layak kita mendapat kenikmatan surga yang telah Allah janjikan? Renungkanlah!. Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA
Dengan atau tanpa kita, Dakwah Islam akan tetap berjalan, namun apakah Neraka-Nya tidak terlalu menakutkan serta Surga-Nya tidak begitu menggiurkan untuk kita semua?