WELCOME!


I made this widget at MyFlashFetish.com.


Kamis, 28 Januari 2010

Bagaimana Pandangan Hukum Islam atas Subprime Mortgage?

Penjelasan yg sangat bagus bagi kita untuk memahami apa itu Subprime mortgage....


Pertanyaan :

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, beberapa waktu ini bursa-bursa utama dunia mengalami mengalami goncangan dan kejatuhan harga saham mereka terlebih setelah Bank Lehman Brothers pada hari Rabu 14 September 2008 resmi mengumumkan kebangkrutannya akibat krisis di pasar perumahan (subprime mortgage) Amerika Serikat pada Agustus 2007.

1. Mohon dijelaskan apa yang dimaksud dengan krisis keuangan subprime mortgage ?

2. Bagaimana hukum subprime mortgage tersebut menurut perspektif ekonomi syariah ?

Atas jawabannya kami sampaikan terima kasih.

Jazakumullah khairal jaza’.

Wassalam

Jawaban :

Wa’alaikum Salam Wr. Wb.

Audzubillah, bismillah, wassholatu wassalamu ‘ala rasulillah Muhammadin ibni abdillah wa’ala alihi washahbih wa man walah, amma ba’du.

Saudaraku,

Mortgage adalah hutang untuk membeli properti di mana properti tersebut kemudian dipakai sebagai jaminan. Contohnya adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Peminjaman mortgage bisa dibagi menjadi prime mortgage dan subprime mortgage. Secara mudahnya, Prime mortgage biasanya diberikan kepada : a)peminjam yang memiliki sejarah kredit yang bagus (misal tidak pernah bangkrut, b) tidak terlambat membayar bill, dll) dan c) dapat menunjukan kapasitas untuk membayar kembali hutangnya (misal pendapatan besar, rasio dari loan terhadap nilai properti rendah, dll). Sedangkan subprime mortgage diberikan kepada peminjam yang tidak memenuhi ketiga persyaratan tersebut. Subprime mortgage bisa dikatakan mortgage (surat hutang properti) dengan resiko yang lebih tinggi dibandingkan prime mortage.

Munculnya industri subprime mortgage membuka peluang orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli rumah menjadi bisa membeli rumah. Pada tahun 2004, 2005, dan 2006, persentase subprime mortgage adalah 23.8%, 25.5%, dan 22.8% dari total pemberian pinjaman mortgage pertahunnya. (sumber: LoanPerformance estimates).

Karena resiko subprime mortage yang lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan kepada peminjam juga lebih tinggi. Sekarang Anda bayangkan: orang yang lebih susah membayar hutang harus membayar bunga yang lebih tinggi.

Maret tahun 2000 adalah awal dari runtuhnya saham-saham teknologi: burst of internet bubble. Untuk mengurangi resiko resesi, bank sentral Amerika menurunkan target suku bunga secara agresif. Dengan suku bunga bank sentral yang rendah, maka suku bunga mortgage juga rendah. Tak heran bila mortgage terus meningkat, semakin banyak rumah dibangun. Dari tahun 2001 sampai akhir 2005, proporsi aset mortgage dari aset bank komersial terus meningkat. Tak heran jika pada periode tersebut tingkat pembangunan rumah di Amerika Serikat juga meningkat pesat: housing boom. Dalam kondisi suku bunga yang rendah dan harga rumah yang terus naik, pemberi mortgage seolah melupakan resiko gagal bayar peminjam subprime mortgage.

Karena saingan yang ketat, berbagai strategi marketing pun dilancarkan. Salah satunya adalah 2/28, artinya : bunga yang harus dibayar peminjam selama 2 tahun pertama sangat rendah dan setelahnya (mungkin sampai 28 tahun) bunga yang dibayar langsung melonjak naik. Jadi bunganya di-reset setelah tahun ke-2. Dengan iming-iming bunga rendah selama 2 tahun pertama, banyak orang yang mengambil mortgage. Dengan harga rumah yang terus naik, ada harapan sebelum tahun ke-2 rumah bisa dijual untuk membayar sisa mortgage.

Saudaraku,

Apa yang akan terjadi ketika suku bunga mortage di-reset setelah tahun ke-2 ? sebagian pasti tidak akan sanggup membayar bunga itu. Kalau sudah begitu, mortgage-nya akan dikategorikan gagal. Siapa yang biasanya akan gagal bayar ketika di-reset? Tentu subprime mortgage yang proporsinya lebih banyak gagal.

Apa yang membuat beban reset menjagi semakin berat? Paling tidak ada dua hal:

Pertama, Naiknya suku bunga. Hal ini terjadi karena sebagian suku bunga mortgage adalah floating. Artinya suku bunga mortgage = suku bunga referensi yang berlaku + x%. Kalau suku bunga referensinya naik, tentu suku bunga mortgage juga naik.

Kedua, Anjloknya harga rumah. Turunnya harga rumah membuat pengambil mortgage untuk tidak bisa menjual rumahnya untuk mengambil hutang baru.

Saudaraku,

Penjelasan sederhananya sebagaimana dijelaskan oleh pengelola blog ihedge (http://ihedge.wordpress.com/2007/08/19/krisis-finansial-3-menganalisa-subprime-mortgage/) sebagai berikut :

Pertama, Penduduk Amerika Serikat dengan track record kredit yang relatif buruk membeli rumah melalui subprime mortgage. Terjadi transaksi pribadi antara peminjam dan pemberi mortgage (subprime lenders)

Kedua, Subprime lenders mengumpulkan berbagai mortgage dan menjual sekumpulan mortgage tersebut kepada bank komersial. Bank komersial kemudian menjual sebagian portfolio mortgage tersebut kepada investment bank.

Ketiga, Subprime mortgage itu bisa juga dikumpulan dan dikemas ulang dalam bentuk Mortgage-Backed Securitites ( MBS). MBS merupakan aset yang memiliki pendapatan: yaitu ketika pemimjam mortgage membayar bunga mortgage dan ketika mereka melunasi hutangnya. Pendapatan ini bisa dipilah-pilah menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Semua bunga dari peminjam mortgage pertama kali akan dibayar sebagai bunga kepada pemilik MBS dengan senioritas paling tinggi. Kalau ada sisa, baru pendapatan itu masuk ke pemilik dengan senioritas lebih rendah. Demikian seterusnya. Bisa dilihat bahwa semakin rendah tingkat senioritasnya, semakin tinggi resiko dari MBS ini. Karena resikonya yang paling rendah, maka MBS paling senior harganya juga paling mahal.

Keempat, Rating agencies semacam Standard & Poor’s (S&P) memberikan rating terhadap MBS ini. Ternyata, rating AAA untuk MBS lebih besar resiko gagal bayarnya dibanding dengan surat hutang dengan rating AAA juga.

Kelima, Beberapa MBS ini, bersama instrumen utang lainnya, kemudian dikemas ulang lagi menjadi Collateralized Debt Obligations (CDOs). Sama seperti MBS, CDO juga merupakan aset dengan berbagai sumber pendapatan: dari pendapatan MBS, dan dari pendapatan instrumen hutang lainnya. CDOs juga dipilah-pilah lagi menjadi beberapa tranches dengan tingkat senioritas yang berbeda. Diperkirakan ada 100 milyar dollar AS aset CDOs yang kalau dirunut balik dijamin oleh subprime mortgages (dari perkiraan total CDOs sebesar 375 milyar dollar AS).

Keenam, CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, hedge funds, reksa dana (mutual funds), dll baik di Amerika Serikat maupun di luar.

Sebagaimana penjelasan sebelumnya mengenai melonjaknya tingkat bunga setelah angsuran tahun ke-2 , tentu saja banyak pemilik rumah dengan skema subprime mortgage tadi yang gagal bayar, jadilah resiko subprime mortgage tersebar ke mana-mana.

Hukum Subprime Mortgage

Saudaraku,

Berdasarkan fakta penyebab krisis keuangan tersebut maka dalam perspektif ekonomi syariah, hukum subprime mortgage adalah haram. Ada beberapa pelanggaran syariah dalam masalah subprime mortgage ini, antara lain :

Pertama, Utang piutang dengan sistem ribawi. Ini jelas keharamannya berdasakan Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2:275-279).

Kedua, Barang jaminan uang piutang dengan barang yang ditransaksikan.

Ketiga, Harta hanya berputar di kalangan tertentu dalam bentuk Derivatif dan The Bubble Economy.

1. Derivativasi dalam bentuk modern- seperti obligasi kolateral dari hutang (collateralised debt obligations), obligasi hutang pembelian rumah (mortgage debt obligations), penukaran kredit jatuh tempo (credit default swaps)- semuanya merupakan sumber terjadinya kegagalan kredit. Filsafat pemikiran yang mendasari pertumbuhan derivativasi adalah asumsi teoritis bahwa resiko bisa dipindahkan ke lembaga lain yang mampu mengatasinya. Pada prakteknya, Warren Buffet menunjukkan beberapa tahun yang lalu bahwa derivativasi tidak lain adalah bentuk senjata keuangan penghancur massal. Semua lembaga yang akhirnya bangkrut termakan oleh asumsi tersebut dimana mereka berharap mengambil keuntungan dengan mentransfer resiko ke lembaga lainnya. Namun fakta yang terjadi adalah mereka justru menumpuk sebatas kertas-kertas tidak bernilai yang memicu timbulnya kerugian yang sangat besar. Ini semua membuka kedok Kapitalisme yang mempropagandakan praktik-praktik keuangan semacam ini.

2. Gelembung Ekonomi (The Bubble Economy). Berbagai pakar dan analis mengurai berbagai alasan yang melahirkan krisis yang terjadi, misalnya peraturan yang longgar, tidak adanya transparansi, kinerja perusahaan yang menilai resiko dan juga sekuritas pinjaman sub-prime yang kompleks. Meskipun faktor-faktor tersebut memang memberikan kontribusi kepada krisis, penfokusan hanya pada faktor-faktor itu justru akan mengesampingkan isu yang jauh lebih besar dan tidak akan mengambil pelajaran dari krisis yang terjadi sebelum krisis yang terakhir.


Saudaraku,

Krisis yang terakhir, sebagaimana krisis sebelumnya selama 200 tahun terakhir sebenarnya memiliki pola yang mirip, sebagaimana proses terjadinya suatu gelembung, yang membesar, dan kemudian meletus. Ironisnya, berbagai pihak yang berperan serta dalam pembentukan gelembung justru menyadari betapa tidak rasionalnya tindakan mereka setelah mengalami pecahnya gelembung.

Menurut Khan (2008), ada empat tahap terjadinya gelembung ekonomi:

Pertama, pengembangan atau inovasi teknologi atau produk. Di masa lampau, contohnya adalah pengembangan dan inovasi produk seperti pembangunan jaringan kereta api, telekomunikasi, perkapalan, dan perusahaan internet dotkom, dan akhir-akhir ini adalah inovasi di industri keuangan.
Kedua, pemasaran produk dengan intensitas tinggi pada masyarakat dengan janji bahwa produk atau inovasi tertentu akan mengubah cara dan gaya hidup secara luarbiasa. Gelembung South Sea di tahun 1720 mencapai puncaknya ketika perusahaan South Sea berhasil meyakinkan publik Inggris bahwa monopoli perdagangan dengan Amerika Selatan akan menghasilkan kekayaan dan keuntungan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Informasi seperti ini menghasilkan pada ‘demam perdagangan secara spekulatif’ berujung pada melejitnya harga saham South Sea.

Ketiga, terbentuknya pola perdagangan spekulatif , yang mulai mengesampingkan akal sehat, mendorong akselerasi pembesaran gelembung. Semua orang dari berbagai latarbelakang ikut-ikutan terjun dalam perdagangan ini. Masyarakat dan para pakar yang masih kurang percaya pun dicekoki dengan jaminan bahwa pasar tidak akan jatuh, dan bahwa situasi yang ada berbeda dan tidak akan mengulang krisis sebelumnya. Jaminan seperti ini diikuti dengan adanya ‘inovasi’ keuangan seperti pengembangan produk sekuritas yang kompleks (obligasi hutang kolateral, dimana hutang seseorang dijual kepada pihak ketiga hingga berkali-kali guna mengurangi dan menyebarkan tingkat resiko).
Praktik inovasi ini dianggap sebagai revolusi keuangan. Sekali lagi industri keuangan berusaha meyakinkan publik bahwa ’saat ini adalah saat yang berbeda, dasar pemikirannya jauh lebih solid’.

Keempat, timbulnya kesadaran bahwa inovasi baru yang ditawarkan secara gencar ternyata tidak sebaik yang diharapkan. Uang atau modal yang telah terinvestasi, dan ikut membantu pembesaran gelembung pada tahap sebelumnya, ternyata tidak berhasil menghasilkan keuntungan yang telah dibayangkan sebelumnya. Pada titik ini, gelembung pun pecah dan akibatnya dalam sejarah benar-benar melahirkan bencana. Ekses ekonomi telah melahirkan Depresi Besar di tahun 1920an, dan meletusnya gelembung dotkom ketika perusahaan dotkom mulai bangkrut ketika janji-janji mereka untuk menghasilkan keuntungan ternyata perlu waktu 50 tahun. Ambruknya perusahaan peminjaman hutang pembelian rumah secara sub-prime pada bulan April 2007 juga berawal dari informasi bahwa pasar penjualan rumah di AS memiliki pondasi yang kuat.

Mereka yang bertanggungjawab pada gelembung spekulatif di tahun 2007 sama sekali tidak membayangkan bahwa pada satu hari gelembung itu akan pecah. Disitulah kesombongan mulai timbul. Aktifitas yang menghasilkan keuntungan secara masif dan diikuti oleh bonus dengan yang besar menjadi motor penggerak pasar properti. Bahkan ketika mulai ada tanda-tanda keretakan, mereka menyalahkan semua orang kecuali mereka sendiri. Krisis yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan pasar keuangan hanyalah sebatas ilusi saja. Apa yang Kapitalisme telah ciptakan tidak lain adalah spekulasi, kerakusan, kesombongan dan berfoya-foya. Itulah sebabnya setiap gelembung selalu berakhir dengan letusan, dan akan terus terjadi secara berulang-ulang.


Saudaraku,

Ekonomi Islam tidak mengenal dualisme ekonomi- yaitu ekonomi yang terdiri dari sektor keuangan, dimana aktifitasnya didominasi oleh praktik pertaruhan terhadap apa yang akan terjadi pada ekonomi riil.

Sektor keuangan ini terbentuk dari instrumen keuangan seperti saham, derivatif, dan produk sekuritas, disamping adanya keterlibatan bunga (riba), praktik keuangan ini juga melakukan transaksi terhadap komoditi secara sepihak (tanpa adanya partner) dalam proses kepemilikannya.

Ekonomi Islam didasarkan pada ekonomi riil. Dengan demikian, semua aturan ekonomi Islam memastikan agar perputaran harta kekayaan tetap berputar. Larangan terhadap adanya bunga (riba) bisa dipraktikan dengan melakukan investasi modal di sektor ekonomi rill, karena penanaman modal di sektor lain dilarang. Kalaupun masih ada yang berusaha menaruh sejumlah modal sebagai tabungan atau simpanan di bank (yang tentunya juga tidak akan memberikan bunga), modal yang tersimpan tersebut justru akan menjadi subyek dari penarikan pajak setelah melewati periode satu tahun. Perpajakan di dalam Islam didasarkan oleh harta yang tertimbun, bukan dari penghasilan. Sehingga, di dalam wilayah kekuasaan Islam, tidak akan ada pajak penghasilan, pajak jalan, dan semacamnya. Artinya, tiap individu akan memiliki lebih banyak uang dari penghasilannya sehingga bisa ia tanam di sektor ekonomi riil, yang akan memiliki efek berlipat karena berputarnya uang dari orang ke orang yang lain. Keberadaan bunga, pasar keuangan, dan pajak secara langsung adalah faktor-faktor yang menghalangi perputaran harta.

Sistem Islam jelas-jelas meletakkan aturan-aturan terhadap kepemilikan dan bagaimana mencairkan aset-aset; ini semua tercantum dalam prinsip-prinsip umum yang bisa digali dengan metoda qiyas dari realita-realita baru. Ini semua akan menyebabkan kestabilan ekonomi,suatu situasi yang nyaris tidak pernah ada dalam sistem ekonomi Barat,dengan pasar bebas dan ekonomi bebasnya. Dalam setiap krisis dan bencana keuangan, banyak kalangan selalu menuding peran atau campur tangan pemerintah atau justru menganjurkan pemberian kebebasan kepada mekanisme pasar. Ironisnya, justru campur tangan pemerintahlah yang justru menyelamatkan eksistensi ekonomi Kapitalisme, dengan mekanisme bail-out (penyuntikan dana) dan penggunaan harta Negara, sehingga para bank bisa terhindar dari keambrukan total. Padahal dan ironisnya, justru para bank tersebutlah yang pada awalnya berperan sebagai lembaga yang paling getol dan vokal dalam menyuarakan deregulasi (yaitu pelonggaran peraturan atau minimalisasi campur tangan pemerintah).


Saudaraku,

Untuk kesekian kali Allah SWT telah memberikan peringatan kepada umat manusia dengan terjadinya Krisis kredit macet global. Sekali lagi ini menunjukkan cacat bawaan dan rentannya Kapitalisme dimana efek multidimensi dari krisis tersebut memerlukan dan menuntut diberlakukannya sistem alternatif, bukan sistem tambal sulam. Apalagi saat ini metode recovery yang mereka gunakan adalah dengan menyuntikkan dana rakyat kepada orang-orang kaya melalui perusahaan perbankan yang akan bangkrut.

Saudaraku,

Satu-satunya solusi alternatif yang Insya Allah akan menggantikan sistem Kapitalisme adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam selalu menomorsatukan kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat secara riil -bukan sekedar pertumbuhan ekonomi saja- sebagai isu utama yang memerlukan jalan keluar dan penerapan kebijakan. Sistem Ekonomi Islam akan dapat diterapkan secara komprehensif ketika berada dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, mari kita satukan tujuan, satukan tekat dan daya upaya untuk mewujudkannya dengan dakwah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW teladan kita.

Wallahu a’lam bishawab.

M. Sholahuddin, SE, M.Si adalah dosen tetap Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Direktur Pusat Studi Ekonomi Islam UMS, Kepala Laboratorium Manajemen UMS. Penulis beberapa buku ekonomi Syariah ini menyelesaikan pendidikan master bidang ekonomi dan keuangan Syariah pada Universitas Indonesia (2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA
Dengan atau tanpa kita, Dakwah Islam akan tetap berjalan, namun apakah Neraka-Nya tidak terlalu menakutkan serta Surga-Nya tidak begitu menggiurkan untuk kita semua?