WELCOME!


I made this widget at MyFlashFetish.com.


Rabu, 07 Juli 2010

Manajemen Pemikiran


 Beragama, Berpikir atau tidak berpikir
Manusia itu terbatas, sedangkan Tuhan tidak terbatas. Karena itu, untuk berbicara tentang Tuhan kita tidak bisa menggunakan akal. Dimana, akal bersifat terbatas. Akidah (iman) itu tidak bisa dipikir-pikir, ia adalah persoalan keyakinan. Demikian bunyi sebuah pendapat. Intinya, membahas agama tidak boleh atau tidak bisa dengan menggunakan akal.

Orang non-islam sepertinya adalah orang yang paling bersemangat kepada pendapat seperti itu. Suatu ketika, saat dijelaskan kepada orang nasrani akan kemustahilan ajaran Trinitas berasal dari Tuhan, bahwa mustahil Tuhan itu tiga, ia menjawab dengan menggunakan pendapat di atas.
Kalau memang seperti itu, bagaimana kalau ditanyakan kepada mereka apakah mereka yakin bahwa Tuhan itu ada? Dengan pengakuan sebagai Nasrani, tentu mereka akan menjawab ‘yakin’. “Lalu, darimana anda tahu dan yakin bahwa Tuhan itu ada?” jelas, tidak mungkin jawaban disampaikan kecuali dengan ‘melanggar’ aturan yang mereka buat-buat sendiri, yaitu tidak menggunakan akal. Tentu, ini main ‘curang’ namanya.

Berbeda dengan agama-agama lainnya, dalam islam terdapat perintah yang sangat jelas akan perintah menggunakan akal atau perintah berpikir dalam beragama atau berkeyakinan terhadap Tuhan. Metode berpikir adalah hal yang mendasari eksistensi sebagai bagian dari akidah, yaitu eksistensi Tuhan itu sendiri. Cukup dengan memikirkan alam semesta, memikirkan diri kita sendiri dan kehidupan, maka itu semua akan menjadi bukti eksistensi dan ke-mahakuasaan-Nya.
Dengan demikian, agama ditegakkan di atas satu metode, yaitu metode berpikir. Ini adalah metode yang secara fitrah tidak bisa ditolak manusia. Sebab, agama intinya berpusat pada satu hal, yaitu keyakinan akan keberadaan Tuhan. Sementara, keberadaan Tuhan ini tidak tidaklah diketahui dengan penginderaan kepada mahluk ciptaan-Nya. Ciptaan ini sebagai tanda-tanda akan keberadaan Tuhan. Di sini, terdapat unsur berpikir di dalamnya.
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (QS Ar-Ruum, ayat 24)
Banyak lagi ayat-ayat yang bermakna serupa, yaitu memerintahkan manusia untuk berpikir. Bila ditelaah lebih jaun, perintah berpikir terhadap alam semesta, kehidupan dan segala isinya ini, semuanya mengarahkan manusia kepada pembuktian keberadaan dan kekuasaan Tuhan yang di atas segala-galanya.
Perintah berpikir dalam pembuktian keberadaan (eksistensi) dan kekuasaan Tuhan ini benar-benar seiring dengan fitrah (sesuatu yang wajar pasti terjadi dan tak bisa diingkari). Itulah islam. Ia tidak menyalahi fitrah manusia, sehingga islam menutup pintu bagi manusia untuk bermain ‘curang’, seperti kecurangan yang terjadi pada orangorang yang tidak paham (Yang ia sendiri mungkin melakukannya tanpa menyadarinya).
Namun, bukankah manusia terbatas, akalnya terbatas, sedangkan Tuhan tak terbatas? Justru ungkapan ini semakin mengukuhkan bahwa eksistensi berpikir tak bisa dihilangkan dengan keber-agama-an manusia itu sendiri. Keterbatasan manusia dan alam semesta ini diketahui seseorang adalah karena ia berpikir. Semakin dalam seorang berpikir, akan semakin tinggi pemahamnnya pada keterbatasan itu sendiri.
Begitupun, semakin dalam seseorang berpikir, semakin mendalam pula ilmu yang dipunyainya akan kemaha-kuasaan Allah SWT.. Semakin takut pula Ia kepada Allah SWT., yaitu takut terkena ancaman-Nya atau takut tidak mendapat rahmat atau pahala yang dijanjikan-Nya. Itulah orang yang berilmu.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa untuk berbicara tentang seperti apa hakekat Tuhan itu sendiri, tidak lagi dengan memikirkan alam semesta dan segala isinya. Perintah untuk tidak memikirkan tentang hakekat Tuhan itu, bukan berarti beragama pada bagian ini terputus dari landasan metode  berpikir. tidak bisa dikatakan demikian, sebab penerimaan kepada perintah seperti ini masih terkait erat dengan berpikir it sendiri.
Penerimaan manusia untuk tidak berpikir tentang hakekat Tuhan itu sendiri adalah hal yang fitrah dan bisa dijelaskan secara akliyah (metode berpikir). Fakta tentang Tuhan adalah fakta yang tak terindera (ghaib). Sesuatu yang tak terindera, dalam kaitannya dengan aktivitas berpikir, hanya sebatas pada pembuktian eksistensinya, yaitu melalui fakta-fakta terindera yang bisa menjadi tanda-tanda untuk eksistensi tersebut, maka ia bisa diterima.
Jadi perintah untuk tidak berpikir tentang Tuhan adalah pada soal hakekatnya, bukan pada soal eksistensi dan kemahakuasaan-Nya. Ketentuan ini adalah hal yang selaras dengan akal dan bahkan tegak di atas metode berpikir itu sendiri. Dengan memperhatikan pada apa yang ada dalam diri kita sendiri, yaitu roh dan nyawa, kebenaran akan hal ini; akan terungkap, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Karena itu benarlah Allah berfirman : “dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS Adz-Dzariyat ayat 20-21).
Bisa disimpulkan, perintah untuk tidak berpikir dalam persoalan akidah (iman) bukanlah berasal dari Tuhan. Seruan untuk tidak berpikir ini adalah seruan dari ‘ tuhan-tuhan palsu’ yang dibuat-buat manusia. Tidak ada bukti yang bisa disampaikan untuk untuk menunjukkan bahwa perintah tidak berpikir dalam beragama berasal dari Tuhan.
Disadur dari “Iman dalam Secangkir Kopi”, Karya Dani Osmon dengan perubahan seperlunya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA

BUKTI TRANSAKSI ANTARA TUHAN - HAMBA
Dengan atau tanpa kita, Dakwah Islam akan tetap berjalan, namun apakah Neraka-Nya tidak terlalu menakutkan serta Surga-Nya tidak begitu menggiurkan untuk kita semua?